Selasa, 23 Maret 2010

KEMISKINAN + KENAIKAN BBM - CSR = bank DAERAH

  • Kemiskinan dan Kenaikan BBM :
Masalah kemiskinan adalah problem sosial klasik, sudah dibicarakan sejak jaman dahulu kala dan masih terus dibicarakan, karena hingga detik ini belum juga dapat diselesaikan. Terkadang kemiskinan itu dianggap memalukan seseorang sehingga merasa harus menjauh dan tidak mengakuinya. Namun tidak sedikit pula orang memanfaatkan kemiskinan sebagai media untuk memperoleh dana bantuan atau mengemasnya dalam proyek-proyek sosial dan bahkan masalah kemiskinan itu dibicarakan dalam forum-forum resmi yang menghadirkan pakar/ahli kemiskinan, dibuat di hotel berbintang dan disiarkan secara langsung melalui media televisi ke seluruh penjuru tanah air, mengeluarkan biaya ratusan juta bahkan milyaran rupiah, namun mengapa kemiskinan itu tidak hapus juga ?. jawabannya “…..tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…...” (sebait sair lagu Ebit G. Ade).
  • Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang atau sebesar 16,58 % dan sudah pasti tingkat kemiskinan akan bertambah lagi dengan adanya kenaikan BBM sebesar 30 % nanti. Pemerintah harus bersiap-siap menerima pertambahan penduduk miskin baru sedikitnya 15,68 juta, artinya, dengan pertambahan penduduk miskin itu, penduduk miskin Indonesia pasca kenaikan harga BBM akan menjadi 52,85 juta orang. Jumlah yang bombastis dan tentu saja akan menambah berbagai problem sosial di negeri ini.
Penyebab dari kemiskinan itu dipengaruhi oleh dua kondisi yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi karena sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan terjadi musibah atau bencana alam. Sedangkan “kemiskinan buatan” terjadi karena dikondisikan sedemikian rupa oleh lembaga pemerintah atau non pemerintah setempat yang ada di masyarakat, sehingga masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia. Itulah yang disebut kemiskinan struktural akibat dari pengaruh kondisi struktur sosial setempat.
  • Sebagai contoh Dinas Kesehatan Propinsi NTT mencatatat bahwa berdasarkan data dari 20 kabupaten/kota di NTT periode Januari 2007 hingga akhir Februari 2008, terdapat 497.777 bayi di bawah lima tahun (balita) mengalami gizi buruk. Dari jumlah tersebut, 416.197 (83,64 %) adalah penderita gizi buruk (malnutrision), 81.380 (16,36%) kurang gizi (under nutrition), 68.873 anak gizi buruk dan komplikasi (malnutrition/out complication) sebanyak 12.340. Sedangkan balita penderita busung lapar sebanyak 167 anak. Terakhir yang mencuat di awal tahun 2008 ini adalah busung lapar di Rote-Ndao. Hingga saat ini sudah tercatat sebanyak lima orang balita meninggal dunia akibat busung lapar. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rote Ndao menetapkan kasus busung lapar tersebut sebagai kejadian luar biasa (KLB). Pemkab Rote Ndao pun membutuhkan dana miliaran rupiah untuk mengatasinya.
Sipri Seko (http://sipriseko.multiply.com/journal/item/59) dalam tulisannya menjelaskan bahwa dana miliaran rupiah yang dialokasikan pemerintah untuk mengatasi persoalan busung lapar ternyata terbuang percuma. Tak ada yang menyangkal kalau kemudian ada selentingan yang mengatakan bahwa kondisi ini sengaja diciptakan untuk menjadi lahan meraup rupiah yang beterbangan sangat rendah. Praktek-praktek inilah yang memperkuat pendapat bahwa kemiskinan di Indonesia merupakan kemiskinan strukural. Penanganan Kemiskinan
  • Dalam Teori ekonomi dijelaskan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat melalui peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan sudah banyak dilaksanakan seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan dan bantuan langsung tunai (BLT) namun hingga kini persoalan kemiskinan belum juga tuntas. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya pengentasan kemiskinan sering tidak membawa hasil, karena pemerintah tidak secara tuntas dan serius mengelolah kepemerintahan yang baik (good governance) dan apalagi menjadi sustainable governance masih jauh dari angan-angan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa saat ini tidak perlu banyak berharap dengan upaya-upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu memperhatikan kondisi tersebut sudah saatnya Bank-bank Daerah sebagai pengerak ekonomi rakyat memperhatikan kepentingan masyarakat lokal (stakeholders). Jika Bank-bank Daerah masih mempertahankan paradigma lamanya maka cepat atau lambat, benih irihati, ketidakpuasan, kemarahan masyarakat (stakeholders) yang termarginal akan berbuntut panjang pada penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes kalangan masyarakat karena tidak memberikan kontribusi yang nyata.
  • Berangkat dari pemahaman diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Bank Daerah perlu care / peduli terhadap masyarakat lokal (stakeholders) dengan maksud agar tercapai keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
  • FILOSOFI BANK DAERAH DAN CSR
Pada hakekatnya Bank Daerah Seluruh Indonesia (BPD-SI) didirikan dengan peran yakni sebagai alat penggerak utama perekonomian daerah dalam menopang pembangunan infrastruktur, UMKM dan turut memikirkan kondisi sosial masyarakat lokal yang semakin termarginal (baca semakin miskin) serta menjalankan fungsi intermediasi daerah (development bank). Pendapat awam melihat bahwa ada dua peran yang bertolak belakang yakni disatu sisi Bank Daerah sebagai alat bisnis untuk kepentingan shareloders (pemegang saham) dan dilain sisi sebagai alat sosial.
  • Menurut Sunarsip (Kepala Ekonom IEI), kondisi sekarang Bank Daerah telah mencebur terlalu jauh sebagai Bank yang tidak mungkin dapat bersaing dengan Bank Umum lainnya karena kelasnya berbeda, ibaratnya sama saja mempertemukan antara Elias Pical dengan Mike Tyson.
Melihat kondisi seperti ini dalam rangka “back to habit”, sudah saatnya Bank Daerah melepaskan jubah paradigma lamanya yang hanya terfokus pada profit oriented namun berparadigma baru yakni triple botom line (triple P), selain mencari keuntungan (Profit) tetapi juga Bank Daerah harus memperhatikan kondisi marginal masyarakat lokal /stakeholders (People) dan kondisi lingkungan sekitarnya (Planet) agar tetap sustainable walaupun didera dengan kondisi ekonomi nasional yang tidak stabil. Inilah yang sekarang kita kenal dengan “corporate social responsibility /CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan”.
  • Hasil penelitian terbaru dari Hill, Ronald et.al (2007:)[1] di beberapa perusahaan Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melaksanakan praktek CSR lalu menghubungkan dengan value perusahaan diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut, menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan yang mempraktekan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang siginifikan, namun dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan praktek CSR.
Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen terhadap CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahaan –perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR, atau dengan kata lain CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang. Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin, karena masyarakat kita bukanlah masyarakat yang masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakat sekarang lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.
  • Tulisan ini akan dilanjutkan pada kesempatan berikutnya ...............................

Senin, 22 Maret 2010

CSR MENU WAJIB PERBANKAN

Tanggal: 10 Jun 2008
Sumber: infobanknews.com

InfoBankNews.com, BI mewajibkan bank menyelenggarakan program CSR. Hanya masih perlu kejelasan guidelines-nya. Bank mana yang CSR-nya atraktif ? Enny Ratnawati A. TANGGUNG jawab sosial perusahaan atau populer dengan istilah corporate social responsibility (CSR) sebenarnya bukan hal asing bagi bank. Sebab, sekarang, CSR di banyak industri tidak lagi hanya digunakan sebagai marketing gimmick. Tapi, sudah menjadi kebutuhan perusahaan bersangkutan untuk lebih dekat dengan masyarakat dan ling­kungan sekitarnya. Meskipun istilah itu sudah cukup familiar di telinga banyak orang, hingga kini, belum ada pengertian tunggal tentang CSR. Tapi, CSR sebenarnya merupakan bagian strategi bisnis jangka panjang sebuah korporasi. Sebab, paradigma lama yang dulu sering diusung perusahaan, yaitu mengejar keuntungan semata dan menutup mata terhadap masyarakat sekitar, sudah tidak relevan lagi. CSR juga berfungsi menjaga citra perusahaan di mata konsumen. Pembentukan citra sebagai perusahaan yang ramah lingkungan dan peduli terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar tempat usaha akan membuat pengoperasian bisnis berjalan lebih lancar. Dan, cepat atau lambat, perusahaan ter­sebut akan memetik buah manis, yaitu pe­ningkatan profit usaha. Aksi tanggung jawab sosial ini sudah sejak lama dilakukan berbagai industri di Indonesia. Apalagi, Indonesia ter­masuk negara rawan bencana, sehingga banyak celah bagi per­usahaan untuk menerapkan CSR. Momen bencana sering dimanfaatkan berbagai perusahaan untuk me­nunjukkan kepedulian terhadap korban bencana alam yang memang mem­butuhkan uluran tangan. Wujudnya bermacam-macam. Mulai dari sekadar membagi-bagikan paket makanan siap santap; membuka posko layanan kesehatan, telekomunikasi, dan perbaikan kendaraan di daerah bencana; hingga terjun langsung mengevakuasi pengungsi. Perusahaan berharap, dengan melakukan kegiatan CSR, citra dan awareness terhadap perusahaan itu pun akan terdongkrak. PT Astra International, Tbk., misalnya, memiliki sistem dan prosedur tanggap darurat saat bencana datang. Perusahaan ini punya konsep, bujet, sistem, dan tim yang jelas untuk kegiatan CSR-nya. Perusahaan lain, seperti PT H.M. Sampoerna, memanfaatkan teknologi canggih untuk mengambil keputusan cepat dalam kondisi darurat (bencana). Satu hari pascabencana, tim Sampoerna Rescue bisa mengevakuasi korban menggunakan sejumlah peralatan, seperti perahu karet dan tenda darurat. Tim ini dikendalikan Divisi Community Development Sampoerna. Bagi sebagian perusahaan, CSR memang penyeimbang antara kepentingan perusahaan dan masyarakat. CSR juga merupakan wujud nyata paradigma bahwa bisnis tidak hanya berjalan atas kepentingan pemegang saham (shareholders), tapi juga untuk stakeholders. Perusahaan tidak akan mengesampingkan kepentingan pekerja, konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan. Pemikiran yang sama juga terbersit dalam benak kalangan perbankan. Sektor ini juga melihat CSR sebagai kebutuhan. Bank Indonesia (BI) mewajibkan bank melakukan program CSR, terutama di bidang pendidikan. Dalam bankers dinner medio Januari lalu, Burhanuddin Abdullah, Gubernur BI, kembali menegaskan optimalisasi peran bank dalam pembiayaan pembangunan. Salah satu poin penting optimalisasi tersebut adalah kewajiban menerapkan CSR di setiap bank. “Bank Indonesia berpandangan bahwa CSR industri perbankan seyogianya dapat terarah pada upaya-upaya strategis dalam pembentukan masa depan bangsa, seperti bidang pendidikan,” ujar Burhanuddin dalam sambutannya. Hanya, dia menggaris­bawahi perlunya perumusan guidelines yang jelas bagi pihak bank. Hal itulah akan dirumuskan kembali oleh BI bersama bank. Kepedulian sosial perbankan mulai tampak nyata. Beberapa bank saat ini memang sudah melakukan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Misalnya, Bank Haga yang pernah meng­adakan aksi donor darah. Tapi, sebagian kecil bank di Indonesia hanya melakukan kegiatan CSR yang bersifat charity, seperti memberi santunan dan sumbangan sembilan bahan pokok (sembako). Padahal, dengan konsep tersebut, keadaan masyarakat tidak berubah. Kendati belum optimal, upaya perbankan ini merupakan awal yang positif untuk memulai kegiatan yang lebih besar. Beberapa bank lain pun termotivasi melakukan kegiatan CSR dengan lebih terencana. Bahkan, tidak jarang, kegiatan sosial dilakukan dalam yayasan tersendiri dan dengan bujet khusus. Salah satunya adalah Bank Mandiri. Bank tersebut sudah melakukan kegiatan CSR sejak tahun pertama berdiri. Tapi, program CSR di Bank Mandiri baru diluncurkan pada 2004. Menurut Mansyur S. Nasution, Corporate Secretary Bank Mandiri, melalui electronic mail (e-mail) kepada InfoBank, bentuk kegiatan yang digagas Bank Mandiri cukup beragam. Intinya, tentu, perusahaan turut berperan aktif membangun masyarakat sekitar. Beberapa tahun terakhir, Bank Mandiri memang aktif membantu korban bencana alam, membangun rumah-rumah ibadah, dan memberikan beasiswa pendidikan. Hingga saat ini, target CSR yang dilakukan Bank Mandiri adalah masyarakat yang berdomisili di wilayah kerja Bank Mandiri di seluruh Indonesia. Seperti halnya Bank Mandiri, target kegiatan CSR Bank Danamon adalah masyarakat di wilayah kerjanya sendiri. Tapi, karena dalam beberapa tahun terakhir, Danamon Simpan Pinjam (DSP) fokus melayani masyarakat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sasaran kegiatan CSR Bank Danamon pun lebih banyak mengarah kepada nasabah DSP tersebut. CSR Bank Danamon diberi nama Danamon Peduli. Pada 2001, Danamon Peduli masih di bawah divisi corporate communicaion. Tapi, sejak 17 Februari 2006, Danamon Peduli ada dalam naungan yayasan mandiri yang didirikan Bank Danamon dan Adira Finance. Menurut Risa Bhinekawati, Ketua Dewan Pengurus Danamon Peduli, kepada InfoBank, belum lama ini, di kantornya, program unggulan di Danamon Peduli adalah program “Pasarku: Bersih Sehat Sejahtera” Sesuai dengan namanya, program tersebut difokuskan di pasar-pasar, khususnya pasar tradisional. Dengan adanya program yang diarahkan pada sektor yang jarang tersentuh perbankan ini, diharapkan pengurus pasar tradisional dapat meningkat kebersihan dan kesehatan lingkungan. Sehingga, daya saingnya meningkat, dapat menarik lebih banyak pembeli, dan warga pasar pun lebih sejahtera. Berbagai kegiatan ditempuh untuk mem­perbaiki pasar. Salah satu kegiatan yang menarik adalah konversi sampah organik menjadi kompos dengan kualitas tinggi. Uniknya, warga pasar tdak hanya diajarkan cara mengolah sampah organik menjadi kompos, tapi juga pola pemasaran kompos tersebut. Dengan mengolah dan menjual kompos, kesejahteraan hidup mereka diharap­kan bisa meningkat. Dari sisi bujet atau investasi, jumlah dana yang dikucurkan Danamon Peduli berbeda-beda, tergantung kegiatannya. Tapi, sebagai gambaran, untuk menjaga kebersihan warga pasar, mereka membangun infrastuktur berupa pengadaan kamar mandi atau water closet (WC) yang lebih memadai. Untuk kegiatan ini, dana yang dikeluarkan per satu kegiatan Rp6 juta. Sementara itu, ke depan, Bank Mandiri fokus ke bidang pendidikan untuk peng­aplikasian program CSR-nya. Bidang ini dipilih karena dianggap memiliki kontribusi dalam jangka panjang. Untuk bidang pendidikan, aksi sosial Bank Mandiri meng­usung tema “Mandiri Peduli Pendidikan”. Dua kegiatan utamanya adalah memberikan beasiswa serta bantuan sarana dan prasarana pendidikan. Di bidang pendidikan, bank ini mencanang­kan 2008 sebagai tahun bagi wirausahawan muda menunjukkan kemampuannya. Dengan meluncurkan program Wirausaha Muda Mandiri, menurut Mansyur, Bank Mandiri tidak sekadar memberikan dukungan dana atau pembiayaan, tapi juga pendampingan untuk meningkatkan kapabilitas wirausaha­wan dan calon wirausahawan. Bank Mandiri juga akan memberikan apresiasi dan stimulasi kepada pelaku UMKM dan wirausahawan muda. Secara tidak langsung, itu dapat membantu men­ciptakan lapangan kerja. Untuk melaksanakan program ini, Bank Mandiri bekerja sama dengan lebih dari 20 universitas di seluruh wilayah Indonesia. Realisasi program tersebut adalah mendidik mahasiswa dan memberikan fasilitas pembiayaan bagi mereka yang hendak membuka usaha. Dengan begitu, akan tercipta paradigma baru di kalangan anak muda, khususnya mahasiswa, dari job seeker menjadi job creator. Danamon Peduli juga sudah merancang berbagai program jangka panjang. Untuk 2008-2011, misalnya, Danamon Peduli menargetkan ada 400 kabupaten yang dapat mengelola sampah pasarnya menjadi kompos bernilai ekonomis tinggi. “Hal ini bisa dicapai dengan cost-sharing investasi Danamon Peduli dengan pemkab (pemerintah kabupaten) atau pemkot (pemerintah kota) setempat,” ujar Risa. Jika berhasil, tambahnya, program ini diperkirakan menghasilkan pendapatan Rp900 juta per hari bagi koperasi atau masyarakat pasar. Program ini juga akan menciptakan 3.600 lapangan kerja baru di lingkungan sekitar pasar tradisional. Program CSR akan makin berkembang. Tujuannya, tentu memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar. Dengan me­lakukan CSR, perusahaan akan mendapat benefit, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Keuntungan itu bisa berupa laba dan citra positif perusahaan. Untuk mencapai kedua hal tersebut sudah pasti membutuhkan proses dan waktu.