Selasa, 18 Mei 2010

PERUSAHAAN, RUU FAKIR MIKSIN DAN MDGs (Beleid baru dengan Kontroversi Lama)

Tanpa banyak pihak yang tahu, Rancangan Undang-Undang Fakir Miskin yang sedang terus dibahas oleh DPR memiliki sebuah ayat yang kontroversial. Pasal 36 ayat 3, yang menyatakan bahwa “Dunia usaha mempunyai kewajiban menyediakan dana pengembangan masyarakat sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial terhadap penanganan fakir miskin”, terdapat di RUU tersebut. Kalau saja pembahasan RUU tersebut diumumkan ke khalayak yang lebih besar, terutama ke dunia usaha, bisa dipastikan akan mengundang reaksi yang sangat keras. Mengapa? Karena rancangan tersebut membuka kembali kontroversi pewajiban penyediaan dana CSR seperti yang dituangkan dalam Pasal 74 UU Perseroan Terbatas. Setelah pasal itu tak bisa diruntuhkan lewat judicial review di Mahkamah Konstitusi—walaupun sangat gamblang kebenaran argumentasi para pemohonnya—kini hantu pewajiban CSR kembali bergentayangan, dengan alasan pewajiban yang lebih sempit. Oleh bakal regulasi tersebut, fakir miskin didefinisikan sebagai orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Tentu, membantu mereka merupakan suatu perbuatan yang mulia. Tak akan ada pihak berakal sehat yang menolak hal tersebut. Bahkan, semua pihak dipastikan akan menyatakan sudut pandang normatif yang sama.
Namun pertanyaannya bukanlah pada mulia atau hinanya perbuatan tersebut, melainkan pada apakah seharusnya perusahaan memiliki kewajiban tersebut? Kalau hal tersebut adalah perbuatan mulia, apakah juga memang harus diwajibkan ataukah sekadar dianjurkan saja? Atau, adakah batas-batas yang memiliki justifikasi ilmiah di antara yang wajib dan sukarela? Artinya, adakah fakir miskin yang wajib diurus oleh sebuah perusahaan, sementara di luar itu perusahaan tidaklah wajib melakukannya? Lebih lanjut lagi, bagaimana sesungguhnya perusahaan dapat berkontribusi dalam pengentasan kaum fakir miskin? Tulisan singkat ini berupaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Bisnis, di luar kesadaran banyak orang, secara asasi telah bersifat sosial. Tidak mungkin bisnis dilakukan tanpa relasi dengan pihak lain, sehingga relasi sosial adalah keniscayaan dalam bisnis. Oleh karena itu, tak ada bisnis sehat yang tak dibangun dengan memperjuangkan rasa saling percaya, baik itu dengan perusahaan yang masuk supply chain, konsumen, maupun dengan pemangku kepentingan lainnya. Lebih jauh, bisnis yang baik juga memiliki kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh pemangku kepentingan, karena kesejahteraan berarti kemampuan untuk membeli produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Kesejahteraan masyarakat secara umum juga kerap berarti kedewasaan berpikir serta perhitungan yang lebih matang, dan kesediaan membayar lebih tinggi untuk produk yang baik. Karenanya, kesejahteraan masyarakat itu penting diupayakan oleh perusahaan.


Tentang Kelompok Rentan
Kelompok masyarakat rentan (vulnerable groups), termasuk di dalamnya kaum fakir miskin. Hanya saja vulnerable groups ini tidak terbatas pada kaum fakir miskin. Mereka memiliki tempat sangat spesial dalam wacana tanggung jawab sosial perusahaan. Kelompok rentan di sini sebetulnya mencakup mereka yang mendapati satu atau lebih sumber kerentanan—struktural, kultural dan pribadi—pada diri mereka (Ife, 1995). Kerentanan struktural berasal dari ketimpangan dalam tata hubungan sosial. Mereka yang dipinggirkan oleh pembangunan ekonomi yang pesat—misalnya mereka yang tiba-tiba menjadi penganggur karena tenaga mereka digantikan oleh mekanisasi—termasuk di dalamnya. Kerentanan kultural berasal dari budaya yang mengungkung masyarakat, yang sengaja maupun tidak menghasilkan kelompok-kelompok ‘kelas 2’ di dalam masyarakat itu sendiri. Kelompok perempuan, anak-anak, atau para pengemis yang ‘menikmati’ kondisinya karena tak perlu bekerja dengan keras, adalah di antara kelompok ini. Sementara, mereka yang ditimpa kemalangan karena hilangnya 'sokoguru' ekonomi keluarga, terkena musibah bencana alam, serta difabel termasuk ke dalam kerentanan pribadi. Tampaklah di sini bahwa definisi fakir miskin sebagaimana yang dianut oleh RUU Fakir Miskin sesungguhnya terlampau menyederhanakan persoalan. Dalam bakal regulasi itu, kondisi ‘tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok’ tidak diuraikan lebih lanjut. Bagaimanapun, tanpa perhatian khusus, mereka yang masuk ke dalam kelompok rentan biasanya mendapati manfaat paling kecil dari dampak positif perusahaan, sementara mereka berpotensi paling menderita apabila dampak negatif perusahaan mereka rasakan. Ketika sebuah perusahaan membuka lowongan pekerjaan atau membuka peluang bisnis misalnya, kelompok rentan biasanya tak mampu mengaksesnya. Keterbatasan pendidikan, pengalaman yang relevan, atau ketiadaan modal, biasanya menjadi pembatas akses mereka atas dampak positif perusahaan. Kalau perusahaan ternyata punya dampak negatif berupa pemindahan penduduk yang bersifat 'involuntari', pencemaran tanah atau air, atau dampak negatif lainnya, mereka jualah yang kerap kehilangan sumber mata pencahariannya.

Business Case untuk Perhatian kepada Kelompok Rentan
Itulah sebabnya, kelompok rentan ini—sebagaimana yang banyak dipelajari dari sejarah protes masyarakat kepada perusahaan—juga lebih mudah dihasut. Kerap, mereka ditunggangi oleh kelompok-kelompok elit yang berkepentingan untuk menyerang perusahaan (kebanyakan karena kehendak untuk mendapatkan kue ekonomi yang lebih besar). Kalau pun ada kepentingan kelompok rentan yang dilayani dalam sebuah protes atau demonstrasi, biasanya nilainya hanyalah minoritas dibandingkan kepentingan para penunggangnya. Karena itu, perusahaan sangat penting untuk menjaga hubungan baik dengan kelompok-kelompok rentan. Di satu sisi untuk memastikan bahwa kelompok tersebut bisa menerima manfaat yang memadai dari perusahaan, di sisi lain perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan dan mengamankan social license to operate-nya. Menjalin hubungan baik dengan kelompok rentan melayani dua kepentingan sekaligus: menjadi tetangga yang baik, serta manajemen risiko.
Dengan logika di atas, ‘kewajiban’ sesungguhnya bukan konsep yang tepat dipergunakan. Sesungguhnya perusahaan memang memiliki kepentingan untuk terus mendapatkan dukungan dari fakir miskin, sebagai bagian dari kelompok rentan. Memperhatikan fakir miskin memang bisa sejalan dengan tujuan bisnis perusahaan. Bisa atau memang demikian? Bisa, bukan pasti demikian. Ide social license to operate sesungguhnya berasal dari teori pemangku kepentingan—terutama variannya yang bersifat instrumental. Dalam varian teori tersebut dijelaskan “...kalau perusahaan ingin mencapai/ menghindari kondisi X, Y, Z; maka perusahaan harus/jangan mengadopsi prinsip A, B, C.” (Donaldson dan Preston, 1995: 71). Karena dukungan atau risiko kepada perusahaan itu tidak diperoleh dari sembarang fakir miskin, maka sudah seharusnya pula perusahaan menjalin hubungan baik dengan fakir miskin tertentu. Yaitu, fakir miskin yang menjadi pemangku kepentingannya. Pemangku kepentingan—mengutip pendirian Edward Freeman (1984)—adalah individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi dan atau terpengaruh oleh pencapaian tujuan suatu organisasi. Jadi, hanya fakir miskin yang bersifat bisa mempengaruhi dan atau (yang lebih utama) terpengaruh oleh operasi perusahaan saja yang harus mendapatkan perhatian perusahaan. Biasanya, ini adalah mereka yang tinggal dan atau bekerja di sekitar wilayah operasi perusahaan.

Pengembangan Masyarakat dan Pendekatan MDGs
Dengan demikian, sesungguhnya melakukan aktivitas pengembangan masyarakat atau community development—yang atinya adalah meningkatkan kemandirian kelompok rentan, termasuk fakir miskin—memang memiliki justifikasi (terutama dari teori pemangku kepentingan normatif), kalau kelompok rentan itu memang merupakan pemangku kepentingan perusahaan. Perusahaan tentu bisa diminta untuk bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan, positif maupun negatif, terhadap fakir miskin yang memang merupakan pemangku kepentingan mereka; namun tidak bisa diminta untuk bertanggung jawab lebih jauh daripada itu. Di sini sangat penting juga dinyatakan bahwa ‘menyediakan dana’ saja untuk fakir miskin—sebagaimana yang diwajibkan oleh RUU Fakir Miskin—sebetulnya bukan strategi yang memadai. Mereka, seperti yang disarankan oleh pendekatan pengembangan masyarakat, perlu untuk dimandirikan. Tujuannya, dalam jangka panjang mereka bisa menjamin kehidupannya sendiri tanpa tergantung kepada perusahaan. Karena boleh jadi keberadaan perusahaan tidaklah lama di tempat mereka tinggal. Banyak perusahaan, terutama yang bersifat ekstraktif atau yang footloose, meninggalkan suatu lokasi apabila kaitan sumberdaya dengan tempat tersebut telah selesai. Sementara itu, kehidupan masyarakat haruslah tetap berlanjut. Itulah mengapa ‘menyediakan dana’, lagi-lagi, merupakan penyederhanaan keterlaluan yang dibuat oleh regulasi ini. Keberlanjutan hidup tidak bisa dijamin oleh sekadar pewajiban penyediaan dana.
Kerangka Millenium Development Goals (MDGs) tampaknya bermanfaat untuk melihat bagaimana seharusnya bisnis berkontribusi terhadap tugas pemerintah dalam pengurangan kemiskinan. MDGs memang merupakan komitmen pemerintah seluruh negara anggota PBB, namun tentu saja berbagai pihak bisa membantu pemerintahnya pada batas-batas tertentu. Nelson dan Prescott (2003) menyatakan bahwa kontribusi bisnis dalam pencapaian MDGs terbagi ke dalam tiga strategi: dengan bisnis intinya, dengan investasi sosial/filantropi dan advokasi kebijakan publik. Boyle dan Boguslaw (2007) kemudian memberi nama ketiga strategi itu menjadi: pendekatan ekonomi, pendekatan kewargaan dan pendekatan advokasi.
Dalam pendekatan ekonomi, perusahaan dapat berperan dengan jalan menyediakan kesempatan kerja dan berusaha untuk memberikan segmen khusus bagi fakir miskin. Perusahaan bisa menggunakan bisnis yang sudah dimilikinya untuk menciptakan itu. Mendahulukan kelompok rentan dalam rekruitmen, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, dan pembukaan hubungan dengan pasar lain, merupakan hal yang esensial di sini. Hal yang juga sering dimasukkan ke dalam pendekatan ini adalah pendekatan BoP (Bottom of the Pyramid) yang dibuat oleh Prahalad dan Hart di tahun 1997. Dalam pendekatan ini, kelompok masyarakat miskin tidak dipandang sebagai korban semata, namun juga adalah pelaku ekonomi (produsen sekaligus konsumen) yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Berbagai kisah sukses perusahaan yang menerapkan pendekatan ini dituliskan di dalam The Fortune at the Bottom of the Pyramid (Prahalad, 2006). Melalui pendekatan kewargaan, bisnis bisa melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat. Tujuannya adalah peningkatan kemandirian kelompok sasaran (bukan peningkatan ketergantungan!). Dengan logika itu, perusahaan melakukan penilaian terlebih dahulu mana saja modal di masyarakat yang masih kurang untuk mendukung kehidupan mereka, lalu perusahaan—dan pihak lain yang memiliki perhatian yang sama—menutup defisit modal tersebut. Secara bertahap, pemberian dikurangi untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya eksternal. Sangat penting di sini untuk dipahami bahwa modal bukan saja berarti sumberdaya finansial, melainkan jauh lebih luas daripada itu. Pengembangan masyarakat dilakukan dengan memberikan kemampuan mengelola dan menutup defisit modal ekonomi, sosial, budaya, politik, lingkungan, dan personal (Ife, 1995). Modal ekonomi juga bukan berarti sekadar gelontoran uang, namun lebih merupakan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan dan memasarkan barang dan jasa yang bernilai ekonomi berdasarkan sumberdaya yang bisa disediakan secara lokal. Perusahaan juga bisa memperjuangkannya melalui advokasi kebijakan. Kalau perusahaan melihat bahwa ada regulasi yang bisa membahayakan hidup fakir miskin, maka perusahaan—bersama-sama dengan pihak lain—bisa juga melakukan advokasi untuk mengubah regulasi menjadi lebih pro-poor. Tentu saja, perusahaan yang bisa melakukan hal ini adalah perusahaan yang telah membuktikan dirinya benar-benar peduli kepada pengentasan kaum miskin. Kalau sebuah perusahaan dalam perilakunya tidak menunjukkan pemihakan pada kaum miskin, maka perusahaan itu tidak patut untuk melakukan advokasi. Kalau tetap nekad melakukannya, maka banyak pihak akan menganggapnya hanya sekadar upaya mendongkrak citra, alias greenwashing saja.

Menghindari Mudharat
Namun, sebelum ketiga pendekatan MDGs yang penuh manfaat di atas dilaksanakan, perusahaan seharusnya tahu bahwa yang lebih utama adalah menghindarkan dirinya sejauh mungkin dari kemungkinan menjadi institusi pembawa mudharat pada masyarakat. Perusahaan harus pertama-tama menghindari adanya dampak negatif kepada masyarakat. Apabila tidak mungkin, maka perusahaan harus menekannya seminimal mungkin. Kalau masih ada dampak negatif residual, maka perusahaan wajib mengkompensasi pihak yang terkena dampak negatif tersebut. Oleh karena itu, perusahaan yang hendak benar-benar berkontribusi pada pengentasan fakir miskin haruslah mengupayakan penghindaran dampak negatif tersebut, dengan melakukan penelitian saksama mengenai segala dampak dan risiko yang bisa ditimbulkan oleh operasi dan produk mereka. Hal ini seharusnya dituangkan di dalam AMDAL dan UKL/UPL, namun operasi perusahaan yang tidak wajib melakukan keduanyapun seharusnya tetap melakukan penelitian itu. Sayangnya, praktik penelitian tersebut bukanlah hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Kalau studi-studi AMDAL diperhatikan, diskusi mengenai dampak operasi perusahaan terhadap kaum miskin dan kelompok rentan lainnya sangatlah minim diungkapkan. Secara umum bagian sosial dari kebanyakan dokumen AMDAL memang bermutu tidak memadai, padahal kelompok rentan seharusnya mendapatkan perhatian penuh.
Akibat dari tidak (mau?) diketahuinya dampak sosial-ekonomi spesifik atas kelompok rentan adalah kebanyakan perusahaan tidak menaruh perhatian spesial atas mereka. Padahal, sebagaimana diungkapkan di atas, kelompok rentan memang membutuhkan perlakuan istimewa dalam penyaluran dampak positif maupun penghindaran dampak negatif. Tidak seriusnya kebanyakan perusahaan dalam upaya mengetahui dampaknya atas kelompok rentan kemudian berbuntut pada pengabaian kepentingan kelompok tersebut. Banyak perusahaan menggusur hajat hidup kelompok rentan. Sumberdaya yang selama ini dipergunakan oleh mereka untuk bertahan hidup bisa diambil alih oleh perusahaan dengan dalih izin legal telah diperoleh (padahal, dari sudut pandang tanggung jawab sosial perusahaan, izin legal itu tak lebih tinggi—kalau bukan lebih rendah—dibandingkan izin sosial). Sudah banyak kasus di mana perusahaan mengambil hutan masyarakat adat, mengeksploitasi dan mencemari sumber air yang menjadi satu-satunya akses kaum miskin atas air, atau menggusur pasar tradisional yang banyak di antara pedagangnya masuk ke dalam kelompok rentan. Ketika pengabaian ini terjadi, maka perusahaan telah ‘berpartisipasi’ dalam menambah masalah kemiskinan. Alih-alih membantu mengentaskan kaum miskin dari kubangannya, banyak perusahaan sesungguhnya memang menambah masalah dengan cara memperburuk kondisi kemiskinan kelompok rentan. Sesungguhnya, hal inilah yang jauh lebih penting diregulasi, dibandingkan mewajibkan perusahaan menyediakan dana khusus untuk pengembangan masyarakat fakir miskin. Pemerintah seharusnya memastikan bahwa seluruh dampak perusahaan atas fakir miskin diketahui dengan akurasi yang tinggi dan dikelola dengan cara-cara yang memadai sebelum izin legal benar-benar dikeluarkan. Dengan kata lain, AMDAL atau bentuk studi lainnya harus diperketat untuk memastikan hal ini. Kemudian, hasil studi dan rencana pengelolaannya haruslah dinilai dengan saksama oleh mereka yang memiliki kompetensi dalam kajian kemiskinan, sebelum pemerintah bisa menyatakan bahwa perusahaan bisa menjalankan usahanya. Sepanjang operasi perusahaan, rencana pengelolaan dampak atas fakir miskin harus dipantau dengan ekstra-ketat, untuk memastikan bahwa dampak negatif atas mereka nol atau minimum.

Penutup
Jadi, sebetulnya cara perusahaan untuk berkontribusi dalam pengurangan jumlah fakir miskin sesungguhnya beragam, bukan sekadar dengan progam pengembangan masyarakat. Yang utama adalah penghindaran dampak negatif atas mereka, baru kemudian menyusul upaya peningkatan dampak positif perusahaan. Mengatur dana bukanlah hal yang pokok di sini, karena dana hanyalah salah satu dari sekian banyak sumberdaya yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk memastikan bahwa dampak positif mereka atas kaum miskin memang optimal. Karenanya, akan jauh lebih baik jika DPR menghapus saja kewajiban penyediaan dana dalam RUU tersebut.
Apalagi, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa regulasi atas dana akan memberikan ide kepada pemerintah daerah untuk membuat perda-perda yang mengatur besaran dana tersebut, secara mutlak maupun persentase tertentu dari (biasanya) keuntungan. Kekhawatiran tersebut beralasan, karena Pasal 74 UUPT—yang seharusnya belum bisa dianggap berlaku karena PP-nya tak kunjung hadir hingga sekarang—telah menimbulkan ekses tersebut. Dapat dipastikan bahwa pengharusan dana pengembangan masyarakat untuk fakir miskin akan menimbulkan ‘kreativitas’ pemda untuk mengeluarkan perda-perda yang serupa. Lebih jauh, kebanyakan perda dikhawatirkan hanya akan berbentuk pengumpulan dana saja, sementara dampak aktivitas dan akuntabilitasnya tidak akan menjadi hal yang diperhatikan. Kalau Pemerintah memang memiliki kehendak untuk meminta bantuan perusahaan dalam mengentaskan fakir miskin di luar tanggung jawab atas pemangku kepentingannya, maka tidak seharusnya jalur pewajiban yang ditempuh. Perusahaan seharusnya bisa diberikan ide bagaimana ketiga strategi MDGs di atas bisa dilaksanakan dengan juga membawa keuntungan reputasional buat perusahaan. Pemerintah bisa memberikan 'pengakuan' buat perusahaan-perusahaan yang sudah melakukannya tanpa ada regulasi. Atau, pemerintah bisa meminta para pakar CSR dan kemiskinan untuk duduk bersama menjabarkan dan mengkontekstualkan pemikiran Nelson dan Prescott di atas untuk kasus Indonesia dan sektor industri tertentu.
Kalau para wakil rakyat hanya becus mengemis dana perusahaan untuk sesuatu yang tak bisa diberikan justifikasi normatifnya, maka sesungguhnya mereka hanya memberikan tambahan beban baru yang tak jelas kaitannya dengan keberlanjutan bisnis perusahaan. Hal ini akan menjauhkan Indonesia dari investasi baru, memberatkan perusahaan yang sudah berinvestasi, atau bahkan mengusir investasi keluar dari sini. Dan hal-hal tersebut dipastikan akan membuat angka kemiskinan di Indonesia membengkak, bukan sebaliknya.

Bogor, 18 Mei 2010
Jalal, Lingkar Studi CSR
Sumber : http://www.csrindonesia.com/data/articles/20100518130346-a.pdf