Selasa, 18 Mei 2010

PERUSAHAAN, RUU FAKIR MIKSIN DAN MDGs (Beleid baru dengan Kontroversi Lama)

Tanpa banyak pihak yang tahu, Rancangan Undang-Undang Fakir Miskin yang sedang terus dibahas oleh DPR memiliki sebuah ayat yang kontroversial. Pasal 36 ayat 3, yang menyatakan bahwa “Dunia usaha mempunyai kewajiban menyediakan dana pengembangan masyarakat sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial terhadap penanganan fakir miskin”, terdapat di RUU tersebut. Kalau saja pembahasan RUU tersebut diumumkan ke khalayak yang lebih besar, terutama ke dunia usaha, bisa dipastikan akan mengundang reaksi yang sangat keras. Mengapa? Karena rancangan tersebut membuka kembali kontroversi pewajiban penyediaan dana CSR seperti yang dituangkan dalam Pasal 74 UU Perseroan Terbatas. Setelah pasal itu tak bisa diruntuhkan lewat judicial review di Mahkamah Konstitusi—walaupun sangat gamblang kebenaran argumentasi para pemohonnya—kini hantu pewajiban CSR kembali bergentayangan, dengan alasan pewajiban yang lebih sempit. Oleh bakal regulasi tersebut, fakir miskin didefinisikan sebagai orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Tentu, membantu mereka merupakan suatu perbuatan yang mulia. Tak akan ada pihak berakal sehat yang menolak hal tersebut. Bahkan, semua pihak dipastikan akan menyatakan sudut pandang normatif yang sama.
Namun pertanyaannya bukanlah pada mulia atau hinanya perbuatan tersebut, melainkan pada apakah seharusnya perusahaan memiliki kewajiban tersebut? Kalau hal tersebut adalah perbuatan mulia, apakah juga memang harus diwajibkan ataukah sekadar dianjurkan saja? Atau, adakah batas-batas yang memiliki justifikasi ilmiah di antara yang wajib dan sukarela? Artinya, adakah fakir miskin yang wajib diurus oleh sebuah perusahaan, sementara di luar itu perusahaan tidaklah wajib melakukannya? Lebih lanjut lagi, bagaimana sesungguhnya perusahaan dapat berkontribusi dalam pengentasan kaum fakir miskin? Tulisan singkat ini berupaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Bisnis, di luar kesadaran banyak orang, secara asasi telah bersifat sosial. Tidak mungkin bisnis dilakukan tanpa relasi dengan pihak lain, sehingga relasi sosial adalah keniscayaan dalam bisnis. Oleh karena itu, tak ada bisnis sehat yang tak dibangun dengan memperjuangkan rasa saling percaya, baik itu dengan perusahaan yang masuk supply chain, konsumen, maupun dengan pemangku kepentingan lainnya. Lebih jauh, bisnis yang baik juga memiliki kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh pemangku kepentingan, karena kesejahteraan berarti kemampuan untuk membeli produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Kesejahteraan masyarakat secara umum juga kerap berarti kedewasaan berpikir serta perhitungan yang lebih matang, dan kesediaan membayar lebih tinggi untuk produk yang baik. Karenanya, kesejahteraan masyarakat itu penting diupayakan oleh perusahaan.


Tentang Kelompok Rentan
Kelompok masyarakat rentan (vulnerable groups), termasuk di dalamnya kaum fakir miskin. Hanya saja vulnerable groups ini tidak terbatas pada kaum fakir miskin. Mereka memiliki tempat sangat spesial dalam wacana tanggung jawab sosial perusahaan. Kelompok rentan di sini sebetulnya mencakup mereka yang mendapati satu atau lebih sumber kerentanan—struktural, kultural dan pribadi—pada diri mereka (Ife, 1995). Kerentanan struktural berasal dari ketimpangan dalam tata hubungan sosial. Mereka yang dipinggirkan oleh pembangunan ekonomi yang pesat—misalnya mereka yang tiba-tiba menjadi penganggur karena tenaga mereka digantikan oleh mekanisasi—termasuk di dalamnya. Kerentanan kultural berasal dari budaya yang mengungkung masyarakat, yang sengaja maupun tidak menghasilkan kelompok-kelompok ‘kelas 2’ di dalam masyarakat itu sendiri. Kelompok perempuan, anak-anak, atau para pengemis yang ‘menikmati’ kondisinya karena tak perlu bekerja dengan keras, adalah di antara kelompok ini. Sementara, mereka yang ditimpa kemalangan karena hilangnya 'sokoguru' ekonomi keluarga, terkena musibah bencana alam, serta difabel termasuk ke dalam kerentanan pribadi. Tampaklah di sini bahwa definisi fakir miskin sebagaimana yang dianut oleh RUU Fakir Miskin sesungguhnya terlampau menyederhanakan persoalan. Dalam bakal regulasi itu, kondisi ‘tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok’ tidak diuraikan lebih lanjut. Bagaimanapun, tanpa perhatian khusus, mereka yang masuk ke dalam kelompok rentan biasanya mendapati manfaat paling kecil dari dampak positif perusahaan, sementara mereka berpotensi paling menderita apabila dampak negatif perusahaan mereka rasakan. Ketika sebuah perusahaan membuka lowongan pekerjaan atau membuka peluang bisnis misalnya, kelompok rentan biasanya tak mampu mengaksesnya. Keterbatasan pendidikan, pengalaman yang relevan, atau ketiadaan modal, biasanya menjadi pembatas akses mereka atas dampak positif perusahaan. Kalau perusahaan ternyata punya dampak negatif berupa pemindahan penduduk yang bersifat 'involuntari', pencemaran tanah atau air, atau dampak negatif lainnya, mereka jualah yang kerap kehilangan sumber mata pencahariannya.

Business Case untuk Perhatian kepada Kelompok Rentan
Itulah sebabnya, kelompok rentan ini—sebagaimana yang banyak dipelajari dari sejarah protes masyarakat kepada perusahaan—juga lebih mudah dihasut. Kerap, mereka ditunggangi oleh kelompok-kelompok elit yang berkepentingan untuk menyerang perusahaan (kebanyakan karena kehendak untuk mendapatkan kue ekonomi yang lebih besar). Kalau pun ada kepentingan kelompok rentan yang dilayani dalam sebuah protes atau demonstrasi, biasanya nilainya hanyalah minoritas dibandingkan kepentingan para penunggangnya. Karena itu, perusahaan sangat penting untuk menjaga hubungan baik dengan kelompok-kelompok rentan. Di satu sisi untuk memastikan bahwa kelompok tersebut bisa menerima manfaat yang memadai dari perusahaan, di sisi lain perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan dan mengamankan social license to operate-nya. Menjalin hubungan baik dengan kelompok rentan melayani dua kepentingan sekaligus: menjadi tetangga yang baik, serta manajemen risiko.
Dengan logika di atas, ‘kewajiban’ sesungguhnya bukan konsep yang tepat dipergunakan. Sesungguhnya perusahaan memang memiliki kepentingan untuk terus mendapatkan dukungan dari fakir miskin, sebagai bagian dari kelompok rentan. Memperhatikan fakir miskin memang bisa sejalan dengan tujuan bisnis perusahaan. Bisa atau memang demikian? Bisa, bukan pasti demikian. Ide social license to operate sesungguhnya berasal dari teori pemangku kepentingan—terutama variannya yang bersifat instrumental. Dalam varian teori tersebut dijelaskan “...kalau perusahaan ingin mencapai/ menghindari kondisi X, Y, Z; maka perusahaan harus/jangan mengadopsi prinsip A, B, C.” (Donaldson dan Preston, 1995: 71). Karena dukungan atau risiko kepada perusahaan itu tidak diperoleh dari sembarang fakir miskin, maka sudah seharusnya pula perusahaan menjalin hubungan baik dengan fakir miskin tertentu. Yaitu, fakir miskin yang menjadi pemangku kepentingannya. Pemangku kepentingan—mengutip pendirian Edward Freeman (1984)—adalah individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi dan atau terpengaruh oleh pencapaian tujuan suatu organisasi. Jadi, hanya fakir miskin yang bersifat bisa mempengaruhi dan atau (yang lebih utama) terpengaruh oleh operasi perusahaan saja yang harus mendapatkan perhatian perusahaan. Biasanya, ini adalah mereka yang tinggal dan atau bekerja di sekitar wilayah operasi perusahaan.

Pengembangan Masyarakat dan Pendekatan MDGs
Dengan demikian, sesungguhnya melakukan aktivitas pengembangan masyarakat atau community development—yang atinya adalah meningkatkan kemandirian kelompok rentan, termasuk fakir miskin—memang memiliki justifikasi (terutama dari teori pemangku kepentingan normatif), kalau kelompok rentan itu memang merupakan pemangku kepentingan perusahaan. Perusahaan tentu bisa diminta untuk bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan, positif maupun negatif, terhadap fakir miskin yang memang merupakan pemangku kepentingan mereka; namun tidak bisa diminta untuk bertanggung jawab lebih jauh daripada itu. Di sini sangat penting juga dinyatakan bahwa ‘menyediakan dana’ saja untuk fakir miskin—sebagaimana yang diwajibkan oleh RUU Fakir Miskin—sebetulnya bukan strategi yang memadai. Mereka, seperti yang disarankan oleh pendekatan pengembangan masyarakat, perlu untuk dimandirikan. Tujuannya, dalam jangka panjang mereka bisa menjamin kehidupannya sendiri tanpa tergantung kepada perusahaan. Karena boleh jadi keberadaan perusahaan tidaklah lama di tempat mereka tinggal. Banyak perusahaan, terutama yang bersifat ekstraktif atau yang footloose, meninggalkan suatu lokasi apabila kaitan sumberdaya dengan tempat tersebut telah selesai. Sementara itu, kehidupan masyarakat haruslah tetap berlanjut. Itulah mengapa ‘menyediakan dana’, lagi-lagi, merupakan penyederhanaan keterlaluan yang dibuat oleh regulasi ini. Keberlanjutan hidup tidak bisa dijamin oleh sekadar pewajiban penyediaan dana.
Kerangka Millenium Development Goals (MDGs) tampaknya bermanfaat untuk melihat bagaimana seharusnya bisnis berkontribusi terhadap tugas pemerintah dalam pengurangan kemiskinan. MDGs memang merupakan komitmen pemerintah seluruh negara anggota PBB, namun tentu saja berbagai pihak bisa membantu pemerintahnya pada batas-batas tertentu. Nelson dan Prescott (2003) menyatakan bahwa kontribusi bisnis dalam pencapaian MDGs terbagi ke dalam tiga strategi: dengan bisnis intinya, dengan investasi sosial/filantropi dan advokasi kebijakan publik. Boyle dan Boguslaw (2007) kemudian memberi nama ketiga strategi itu menjadi: pendekatan ekonomi, pendekatan kewargaan dan pendekatan advokasi.
Dalam pendekatan ekonomi, perusahaan dapat berperan dengan jalan menyediakan kesempatan kerja dan berusaha untuk memberikan segmen khusus bagi fakir miskin. Perusahaan bisa menggunakan bisnis yang sudah dimilikinya untuk menciptakan itu. Mendahulukan kelompok rentan dalam rekruitmen, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, dan pembukaan hubungan dengan pasar lain, merupakan hal yang esensial di sini. Hal yang juga sering dimasukkan ke dalam pendekatan ini adalah pendekatan BoP (Bottom of the Pyramid) yang dibuat oleh Prahalad dan Hart di tahun 1997. Dalam pendekatan ini, kelompok masyarakat miskin tidak dipandang sebagai korban semata, namun juga adalah pelaku ekonomi (produsen sekaligus konsumen) yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Berbagai kisah sukses perusahaan yang menerapkan pendekatan ini dituliskan di dalam The Fortune at the Bottom of the Pyramid (Prahalad, 2006). Melalui pendekatan kewargaan, bisnis bisa melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat. Tujuannya adalah peningkatan kemandirian kelompok sasaran (bukan peningkatan ketergantungan!). Dengan logika itu, perusahaan melakukan penilaian terlebih dahulu mana saja modal di masyarakat yang masih kurang untuk mendukung kehidupan mereka, lalu perusahaan—dan pihak lain yang memiliki perhatian yang sama—menutup defisit modal tersebut. Secara bertahap, pemberian dikurangi untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya eksternal. Sangat penting di sini untuk dipahami bahwa modal bukan saja berarti sumberdaya finansial, melainkan jauh lebih luas daripada itu. Pengembangan masyarakat dilakukan dengan memberikan kemampuan mengelola dan menutup defisit modal ekonomi, sosial, budaya, politik, lingkungan, dan personal (Ife, 1995). Modal ekonomi juga bukan berarti sekadar gelontoran uang, namun lebih merupakan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan dan memasarkan barang dan jasa yang bernilai ekonomi berdasarkan sumberdaya yang bisa disediakan secara lokal. Perusahaan juga bisa memperjuangkannya melalui advokasi kebijakan. Kalau perusahaan melihat bahwa ada regulasi yang bisa membahayakan hidup fakir miskin, maka perusahaan—bersama-sama dengan pihak lain—bisa juga melakukan advokasi untuk mengubah regulasi menjadi lebih pro-poor. Tentu saja, perusahaan yang bisa melakukan hal ini adalah perusahaan yang telah membuktikan dirinya benar-benar peduli kepada pengentasan kaum miskin. Kalau sebuah perusahaan dalam perilakunya tidak menunjukkan pemihakan pada kaum miskin, maka perusahaan itu tidak patut untuk melakukan advokasi. Kalau tetap nekad melakukannya, maka banyak pihak akan menganggapnya hanya sekadar upaya mendongkrak citra, alias greenwashing saja.

Menghindari Mudharat
Namun, sebelum ketiga pendekatan MDGs yang penuh manfaat di atas dilaksanakan, perusahaan seharusnya tahu bahwa yang lebih utama adalah menghindarkan dirinya sejauh mungkin dari kemungkinan menjadi institusi pembawa mudharat pada masyarakat. Perusahaan harus pertama-tama menghindari adanya dampak negatif kepada masyarakat. Apabila tidak mungkin, maka perusahaan harus menekannya seminimal mungkin. Kalau masih ada dampak negatif residual, maka perusahaan wajib mengkompensasi pihak yang terkena dampak negatif tersebut. Oleh karena itu, perusahaan yang hendak benar-benar berkontribusi pada pengentasan fakir miskin haruslah mengupayakan penghindaran dampak negatif tersebut, dengan melakukan penelitian saksama mengenai segala dampak dan risiko yang bisa ditimbulkan oleh operasi dan produk mereka. Hal ini seharusnya dituangkan di dalam AMDAL dan UKL/UPL, namun operasi perusahaan yang tidak wajib melakukan keduanyapun seharusnya tetap melakukan penelitian itu. Sayangnya, praktik penelitian tersebut bukanlah hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Kalau studi-studi AMDAL diperhatikan, diskusi mengenai dampak operasi perusahaan terhadap kaum miskin dan kelompok rentan lainnya sangatlah minim diungkapkan. Secara umum bagian sosial dari kebanyakan dokumen AMDAL memang bermutu tidak memadai, padahal kelompok rentan seharusnya mendapatkan perhatian penuh.
Akibat dari tidak (mau?) diketahuinya dampak sosial-ekonomi spesifik atas kelompok rentan adalah kebanyakan perusahaan tidak menaruh perhatian spesial atas mereka. Padahal, sebagaimana diungkapkan di atas, kelompok rentan memang membutuhkan perlakuan istimewa dalam penyaluran dampak positif maupun penghindaran dampak negatif. Tidak seriusnya kebanyakan perusahaan dalam upaya mengetahui dampaknya atas kelompok rentan kemudian berbuntut pada pengabaian kepentingan kelompok tersebut. Banyak perusahaan menggusur hajat hidup kelompok rentan. Sumberdaya yang selama ini dipergunakan oleh mereka untuk bertahan hidup bisa diambil alih oleh perusahaan dengan dalih izin legal telah diperoleh (padahal, dari sudut pandang tanggung jawab sosial perusahaan, izin legal itu tak lebih tinggi—kalau bukan lebih rendah—dibandingkan izin sosial). Sudah banyak kasus di mana perusahaan mengambil hutan masyarakat adat, mengeksploitasi dan mencemari sumber air yang menjadi satu-satunya akses kaum miskin atas air, atau menggusur pasar tradisional yang banyak di antara pedagangnya masuk ke dalam kelompok rentan. Ketika pengabaian ini terjadi, maka perusahaan telah ‘berpartisipasi’ dalam menambah masalah kemiskinan. Alih-alih membantu mengentaskan kaum miskin dari kubangannya, banyak perusahaan sesungguhnya memang menambah masalah dengan cara memperburuk kondisi kemiskinan kelompok rentan. Sesungguhnya, hal inilah yang jauh lebih penting diregulasi, dibandingkan mewajibkan perusahaan menyediakan dana khusus untuk pengembangan masyarakat fakir miskin. Pemerintah seharusnya memastikan bahwa seluruh dampak perusahaan atas fakir miskin diketahui dengan akurasi yang tinggi dan dikelola dengan cara-cara yang memadai sebelum izin legal benar-benar dikeluarkan. Dengan kata lain, AMDAL atau bentuk studi lainnya harus diperketat untuk memastikan hal ini. Kemudian, hasil studi dan rencana pengelolaannya haruslah dinilai dengan saksama oleh mereka yang memiliki kompetensi dalam kajian kemiskinan, sebelum pemerintah bisa menyatakan bahwa perusahaan bisa menjalankan usahanya. Sepanjang operasi perusahaan, rencana pengelolaan dampak atas fakir miskin harus dipantau dengan ekstra-ketat, untuk memastikan bahwa dampak negatif atas mereka nol atau minimum.

Penutup
Jadi, sebetulnya cara perusahaan untuk berkontribusi dalam pengurangan jumlah fakir miskin sesungguhnya beragam, bukan sekadar dengan progam pengembangan masyarakat. Yang utama adalah penghindaran dampak negatif atas mereka, baru kemudian menyusul upaya peningkatan dampak positif perusahaan. Mengatur dana bukanlah hal yang pokok di sini, karena dana hanyalah salah satu dari sekian banyak sumberdaya yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk memastikan bahwa dampak positif mereka atas kaum miskin memang optimal. Karenanya, akan jauh lebih baik jika DPR menghapus saja kewajiban penyediaan dana dalam RUU tersebut.
Apalagi, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa regulasi atas dana akan memberikan ide kepada pemerintah daerah untuk membuat perda-perda yang mengatur besaran dana tersebut, secara mutlak maupun persentase tertentu dari (biasanya) keuntungan. Kekhawatiran tersebut beralasan, karena Pasal 74 UUPT—yang seharusnya belum bisa dianggap berlaku karena PP-nya tak kunjung hadir hingga sekarang—telah menimbulkan ekses tersebut. Dapat dipastikan bahwa pengharusan dana pengembangan masyarakat untuk fakir miskin akan menimbulkan ‘kreativitas’ pemda untuk mengeluarkan perda-perda yang serupa. Lebih jauh, kebanyakan perda dikhawatirkan hanya akan berbentuk pengumpulan dana saja, sementara dampak aktivitas dan akuntabilitasnya tidak akan menjadi hal yang diperhatikan. Kalau Pemerintah memang memiliki kehendak untuk meminta bantuan perusahaan dalam mengentaskan fakir miskin di luar tanggung jawab atas pemangku kepentingannya, maka tidak seharusnya jalur pewajiban yang ditempuh. Perusahaan seharusnya bisa diberikan ide bagaimana ketiga strategi MDGs di atas bisa dilaksanakan dengan juga membawa keuntungan reputasional buat perusahaan. Pemerintah bisa memberikan 'pengakuan' buat perusahaan-perusahaan yang sudah melakukannya tanpa ada regulasi. Atau, pemerintah bisa meminta para pakar CSR dan kemiskinan untuk duduk bersama menjabarkan dan mengkontekstualkan pemikiran Nelson dan Prescott di atas untuk kasus Indonesia dan sektor industri tertentu.
Kalau para wakil rakyat hanya becus mengemis dana perusahaan untuk sesuatu yang tak bisa diberikan justifikasi normatifnya, maka sesungguhnya mereka hanya memberikan tambahan beban baru yang tak jelas kaitannya dengan keberlanjutan bisnis perusahaan. Hal ini akan menjauhkan Indonesia dari investasi baru, memberatkan perusahaan yang sudah berinvestasi, atau bahkan mengusir investasi keluar dari sini. Dan hal-hal tersebut dipastikan akan membuat angka kemiskinan di Indonesia membengkak, bukan sebaliknya.

Bogor, 18 Mei 2010
Jalal, Lingkar Studi CSR
Sumber : http://www.csrindonesia.com/data/articles/20100518130346-a.pdf

Kamis, 22 April 2010

PERMASALAHAN CSR BPD DAN SOLUSINYA !


Akhir-akhir ini CSR atau disebut tanggung jawab sosial  perusahaan mulai dingin dan tidak memiliki gaung yang kuat karena pemberitaan mengenai perlunya CSR di Indonesia hanya dilihat sebelah mata saja pada hal sesuai Pasal 74 UU No.40/2007 mewajibkan setiap perusahaan PT wajib hukumnya menjalankan CSR. Untuk menjawab hal tersebut dan banyak pertanyaan yang sering masuk dalam bloger ini maka saya berkewajiban untuk menjawabnya dalam tulisan wawancara dibawah ini, selamat membaca.  
1.            Apa itu Corporate Social Responsibility (CSR) dan sejarahnya?
         Banyak definisi tentang CSR, tetapi yang sederhana adalah bagaimana perhatian suatu perusahaan terhadap kualitas hidup stakeholders (khususnya masyarakat setempat).  Kalau mengenai sejarah CSR, bermula dari pendapat Milton Friedman bahwa perusahaan itu hanya mencari profit (The business of business is business), namun karena tuntutan dan tekanan masyarakat terutama pengamat sosial bahwa ada “mounting public anxiety about the growth of corporate power and potential for coporate misconduct”,  maka lahirlah paradigma baru perusahaan yakni triple botom line (3 P); perusahaan selain (P)rofit juga wajib memperhatikan sosial kemasyarakatan /(P)eople dan lingkungan /(P)lanet.

2.            Apakah CSR itu wajib dijalankan perusahaan ?
         Seperti tadi sudah saya katakan, pada dasarnya tujuan utama dari pendirian perusahaan adalah mencari profit, tetapi, dalam menjalankan perusahaan,  harus juga menaati semua peraturan hukum yang berlaku, menjalankan sesuai etika moral yang berlaku dan memperhatikan lingkungan. Inilah yang disebut tanggung jawab legal, ekonomi, etis dan tanggung jawab lingkungan, yang saling menopang tidak bisa berdiri sendiri- sendiri.

         CSR adalah kegiatan sukarela. Tetapi, perkembangan global akibat tekanan internal maupun eksternal  saat ini menuntut CSR menjadi suatu kewajiban yang tidak bisa ditolak. Suka atau tidak suka, harus dijalankan sebagai bentuk tanggungjawab kepada stakeholders.

3.            Kami membaca tesis anda menarik sekali, tentang praktik CSR di salah satu BPD, apa sebenarnya inti permasalahan yang anda teliti dan kira-kira solusinya bagaimana ?

Ceritanya panjang, akan tetapi dapat saya sampaikan bahwa masih sangat kurang penelitian tentang CSR BPD, masalahnya karena CSR di BPD ibarat suatu jenis tanaman baru apakah berakar tunggal atau berakar serabut, atau suatu jenis binatang baru, apakah merayap atau melata dan seterusnya.
         Ok, kita masuk dalam inti persoalan. Hasil penelitian menujukan bahwa praktik CSR di BPD baru dalam tahap pertama disebut corporate charity. berupa dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan atau tradisi setempat. Seperti Santha Claus membagi hadiah saat perayaan natal atau membagi sedekah saat idhul kurban, membagi angpao saat perayaan Imlek, memberi beras, susu, saat bencana alam atau musibah seperti busung lapar. Jadi misinya hanya mengatasi masalah sesaat sehingga pengeloaannya hanya berjangka pendek dan parsial, sifatnya sukarela (voluntary) dan tidak terencana / terprogram.

4.            Jadi CSR yang baik itu seperti apa ?
         Ada tahap kedua yakni corporate philantrophy berupa dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial, tetapi yang baik adalah tahap ketiga corporate citizenship yakni motivasi kemasyarakatan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial. Jadi tahap ketiga sikapnya memberdayakan manusia.

5.            Maksud dari pemberdayaan masyarakat itu Community Development ?
         Ya, betul.. Comdev itu artinya perusahaan memberikan kontribusi kepada masyarakat setempat (stakeholders) secara nyata dan tertuang dalam suatu komitmen dan kebijakan perusahaan,  keterlibatan sosial baik dana maupun daya dalam bentuk hibah sosial dan atau hibah pembangunan.


6.            Bentuk keterlibatan social itu seperti apa ?
         Cara Pertama, bisa terlibat langsung artinya menyelenggarakan CSR sendiri dengan menyiapkan seorang pejabat senior seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. Cara Kedua, melalui atau membentuk yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Cara ketiga, bermitra dengan lembaga sosial atau LSM baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya, dan Cara Keempat, adalah Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan - perusahaan yang mendukung secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.  Dari keempat cara ini mana yang cocok itu semuanya berpulang dari perusahaan masing-masing !

7.            Menurut Anda kalau di BPD bentuk keterlibatan sosial yang tepat itu apa ?
         Menggunakan cara keempat yakni dalam wadah BPD-SI, kita buat semacam konsorsium / forum peduli sosial (Forum Multi Stakehoders)  yang beranggotakan seluruh BPD-SI, melibatkan unsur masyarakat / LSM dan pemerintah Pusat serta Pemda setempat.

8.            Ide Anda baru dan rasanya berat untuk dilaksanakan karena tiap BPD memiliki karakteristik  yang berbeda?
         Ide ini bukan baru sudah lama dipraktekan, contoh saja Kabupaten Kutai Timur Kaltim oleh mantan Bupati dan sekarang Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak sudah jalan, beliau membentuk Forum Multi Stakehoders (FMS) yang kelembagaannnya terdiri dari Dewan Pengarah FMS dan badan pelaksana FMS terdiri dari beberapa perusahaan di Kutai Timur, masyarakat/LSM dan pemerintah. Nah.. kalau seluruh BPD memiliki komitmen yang sama, bersatu membentuk forum tersebut, saya yakin kekuatan BPD sebagai agen development untuk menaikan kualitas hidup masyarakat dapat terwujud.

9.            Selanjutnya menyangkut teknis merancang program CSR, dari mana kita mesti memulai? Kemampuan perusahaan atau kebutuhan masyarakat?
         Program CSR sebaiknya dirancang berangkat dari apa yang paling dibutuhkan masyarakat, karena harus memberi dampak positif kepada masyarakat. Tidak ada guna jika rancangan program mengikuti keinginan perusahaan, artinya  perusahaan mestinya melakukan assesment secara internal untuk menilai kapasitas organisasinya, sehingga dengan demikian, program CSR tidak mengganggu aktivitas utama sebagai entitas bisnis.


10.        Tehnik asessment internal yang bagaimana ?
         Jadi pertama, lakukan penilaian dan identifikasi masalah; contohnya melihat kemiskinan masyarakat setempat, cari inti permasalahan mengapa sampai mereka miskin, apa sebab miskin?, karena;  tidak ada pekerjaan / pengangguran,    tidak memiliki  ketrampilan, budaya tidak mendukung,  dan seterusnya.

11.        Terus setelah teknik asessment, tindakan selanjutnya ?
         Harus ditentukan perusahaan ikut terlibat disemua persoalan atau memilih satu bidang persoalan?. Artinya semua persoalan itu penting, tetapi harus menghitung berapa sumberdaya yang dimiliki perusahaan?. Jadi lebih fokus pada bidang tertentu agar memiliki dampak yang signifikan. Misalnya, perusahaan ingin melakukan CSR untuk meningkatkan kualitas pelajar agar dapat diterima di lembaga perbankan. Sebaiknya dipertajam fokus tersebut dengan memilih siswa di level manakah yang hendak menjadi sasaran.

12.        Selanjutnya, bagaimana menentukan prioritas program?
         Seperti tadi, selanjutnya perusahaan harus melakukan need assessment terhadap lingkungan masyarakat setempat. Yang pertama, harus mencari apa yang paling dibutuhkan masyarakat setempat? Caranya perusahaan harus berdialog dengan masyarakat setempat. Bisa juga mengajak LSM setempat untuk menggali kebutuhan dan persoalan yang kerap terjadi. Cara kedua, membuat maping, agar program  CSR yang dibuat tidak tumpang tindih dengan program lainnya.

13.        Apakah CSR harus butuh dana yang besar ?
         Sebenarnya tidak. CSR bukan saja melulu duit.  Tidak apa-apa kalau perusahaan menyiapkan dalam setahun penyisihan labanya atau rekening CSRnya minim sesuai kemampuan perusahaan. Yang utama adalah apakah penyaluran dana tersebut tepat sasaran atau tidak  dibandingkan dana yang besar tetapi tanpa perencanaan. Perusahaan bisa menyiapkan daya berupa tenaga karyawan untuk kerja bakti sosial atau mengajar. Jadi, tak ada alasan  perusahaan tidak melaksanakan praktik CSR.

14.        Pertanyaan berikutnya, bagaimana seandainya perusahaan menolak keras untuk tidak menerapkan praktik CSR ?
Jawabannya mudah, siapa menabur angin menuai badai. Artinya tidak bermaksud menakut-nakuti, jika perusahaan tidak melaksanakan program CSR bersiap-siaplah menerima risiko reputasi berupa penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes, karena masyarakat kita sudah mengerti dan memahami kontribusi suatu perusahaan.

15.        Yang terakhir, apa tolok ukur keberhasilan program CSR?
         Sederhana saja, tolok ukur keberhasilan dapat dilihat dari dua segi yakni perusahaan dan masyarakat. Dari segi perusahaan, reputasinya bertambah cemerlang dimata masyarakat, dan dari segi  masyarakat terjadi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Yang terukur dari apakah masyarakat tersebut bisa mandiri, tidak melulu bergantung pada pertolongan pihak lain.
 

Senin, 12 April 2010

CSR MEMANG TDK CUKUP DENGAN BAGI BAGI SEMBAKO

Jumat 22 Januari 2010 lalu, Wapres Boediono dalam
kesempatan membuka acara pemberian
penghargaan kepada wirausahawan muda yang
difasilitasi oleh Bank Mandiri menyatakan bahwa apa
yang dilakukan oleh Bank Mandiri adalah “CSR yang
substansial,” dan Beliau mengingatkan bahwa
banyak perusahaan yang masih melakukan “CSR”
dengan jalan membagi‐bagi sembako. Bagi‐bagi
sembako, menurut Wapres, adalah hal yang baik,
namun dipandang tidak memadai sebagai CSR.
Wapres benar. CSR memang jauh lebih kompleks
daripada bagi‐bagi sembako. CSR, sebagaimana
disepakati oleh banyak pakar, dalam definisi arus
utama berarti internalisasi atau manajemen dampak.
Itu artinya, perusahaan musti tahu persis apa saja
dampak operasionalnya, baik yang positif maupun
negatif, lalu mengelolanya. Yang positif tentunya
dimaksimumkan, sementara yang negatif
diminimumkan. Dan, bagi‐bagi sembako jelas
tidaklah cukup sebagai maksimisasi dampak positif
maupun minimisasi dampak negatif, bukan?
Tetapi, apakah juga memfasilitasi usahawan muda
adalah bentuk CSR yang memadai bagi Bank
Mandiri? Berbagai pakar telah menuliskan bahwa
CSR yang sesuai dengan industri perbankan pada
dasarnya ada tiga: penapisan investasi dengan
memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan,
promosi financial literacy dan perlakuan khusus
untuk UMKM. Nah, dengan program wirausahawan
muda tersebut, tampaknya dua yang terakhir telah
masuk. Bagaimanapun, Bank Mandiri harus
memberikan pengetahuan mengenai berbagai aspek
finansial kepada para wirausahawan tersebut.
Sebagai pemula, wirausahawan itu juga tentunya
adalah bagian dari UMKM—karena mereka mustahil
langsung menjadi pengusaha besar.
Pertanyaan yang tersisa adalah apakah Bank Mandiri
telah melakukan penapisan investasinya dengan
mengadopsi atau mengadaptasi kerangka Equator
Principles dan IFC Performance Standards? Hingga
sekarang tampaknya belum. Adopsi jelas belum,
karena Bank Mandiri hingga sekarang belum lagi
tercatat sebagai penanda tangan Equator Principles.
Adaptasi? Tak bisa diketahui dengan pasti hingga di
mana, karena Bank Mandiri tak pernah
mengungkapkan hal tersebut di muka publik.
Bank Mandiri memang pernah beberapa kali
menyatakan bahwa dalam menapis investasi mereka
melihat apakah sebuah projek memiliki AMDAL.
Namun, apakah ini memadai? Jelas tidak. Boleh jadi
sebagian besar projek yang didanai oleh Bank
Mandiri adalah projek yang wajib AMDAL. Namun
demikian, mempersyaratkan adanya dokumen
AMDAL tentu saja tidak memadai. Banyak orang tahu
bahwa dokumen AMDAL di Indonesia sebagian
sangat besarnya bermutu jelek. Padahal apabila
AMDAL kita dibuat dengan sangat baikpun, itu tak
memadai kalau dibandingkan dengan mutu dokumen
Environmental and Social Impact Assessment yang
diminta oleh IFC. Pemerintah agaknya menyadari itu
sepenuhnya, sehingga UU 32/2009 mengenai
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hiduppun
kemudian memperbaiki persyaratan AMDAL
dengan tambahan analisis risiko lingkungan, juga
persyaratan yang ketat bagi pembuat dan
penilaianya.
Apakah mengikuti Equator Principles dan IFC
Performance Standards itu sudah memadai? Norma
di dunia bisnis tampaknya begitu. Namun, perlu
diingat bahwa dunia bisnis tidaklah vakum,
melainkan diisi oleh norma‐norma pemangku
kepentingan. Equator Principles banyak dikritik LSM
karena membatasi jumlah investasi yang ditapis,
yaitu bagi investasi di atas USD 10 juta. Padahal,
investasi di bawah itupun banyak yang membawa
dampak sosial dan lingkungan yang luar biasa. IFC
Performance Standards yang menyatakan bahwa
PIFC adalah prior and informed consultation
dipandang tak memadai oleh LSM karena seharusnya
PIFC bermakna prior and informed consent.
Jadi, memang bagi‐bagi sembako itu tak memadai
sebagai CSR. Tapi, melakukan banyak hal di luar
bagi‐bagi sembako itu juga belum tentu sudah
memadai. Bahkan ketika norma di dunia bisnis sudah
menganggapnya memadai, pemangku kepentingan
belum tentu sependapat.
Sumber :
CSR Indonesia Newsletter Vol. 4 Bulan 1 2010 3

Sabtu, 10 April 2010

Corporate Social Responsibility : Realita dan Perkembangan

Oleh : Arif Budimanta
Corporate social responsibility merupakan suatu elemen yang penting dalam kerangka sustainability, yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Corporate social responsibility merupakan proses penting dalam pengelolaan biaya dan keuntungan kegiatan bisnis dengan stakeholders baik secara internal (pekerja, shareholders dan penanam modal) maupun eksternal (kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota masyarakat, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan lain), dimana tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor saja, tapi konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif, akan tetapi merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki bersama antar stakeholders. Adapun alasan penting mengapa harus melakukan Corporate Social Responsibility, yaitu untuk mendapatkan keuntungan sosial, mencegah konflik dan persaingan yang terjadi, kesinambungan usaha/bisnis, pengelolaan sumber daya alam serta pemberdayaan masyarakat dan sebagai License to Operate. Jadi implementasi Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga secara sosial dan lingkungan alam bagi keberlanjutan perusahaan serta mencegah terjadinya konflik.

II. Definisi Corporate Social Responsibility(CSR)
Terdapat berbagai definisi tentang CSR, dimana definisi ini juga semakin berkembang seiring dengan perkembangan dunia global. World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) in Fox, mendefinisikan CSR sebagai suatu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut masyarakat setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Sementara itu, Laurel Grossman, Reputex, menngartikan konsep CSR sebagai alat untuk menciptakan nilai-nilai hubungan kemitraan bisnis yg baik dengan para stakeholders dan sekaligus pada saat yang sama mendorong penciptaan nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan lingkungan. Tetapi pada dasarnya CSR merupakan sebuah pendekatan yang dilakukan untuk mengintegrasikan kepedulian sosial dalam interaksi dengan berbagai stakeholders, yang berdasarkan pada prinsip sukarela maupun kemitraan.

Corporate Social Responsibility dalam pemaknaannya tidak dapat dipisahkan dari maknanya secara filosofis, yang terdiri dari ethics, power, recognition dan governance yang terkait terhadap aspek social, ecology/ environment, actor and economic. Makna filosofis ini harus dipandang sebagai satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan, baik dari aspek konsep maupun dari aspek pelaksanaannya.

Di wilayah Asia, konsep CSR berkembang sejak tahu 1998, tetapi pada waktu tersebut belum terdapat suatu pengertian maupun pemahaman yang baik tentang konsep CSR. Sementara itu, di Indonesia konsep CSR mulai menjadi isu yang hangat sejak tahun 2001, dimana banyak perusahaan maupun instansi-instansi sudah mulai melirik CSR sebagai suatu konsep pemberdayaan masyarakat. Perkembangan tentang konsep CSR pun pada dasarnya semakin meningkat lebih baik, ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Terdapat tiga gambaran umum tentang pelaksanaan CSR di Indonesia, yang pada kenyataannya masih perlu mendapat perhatian, yaitu :

konsep pelaksanaan CSR masih bersifat Pendekatan “Top Down” dengan frekuensi community engagement yang lebih banyak
Penerapan CSR lebih banyak bersifat sukarela (bukan mandatori berdasarkan UU/PP)
Organisasi pengelola CSR masih belum terpadu (unsur-unsur sosial, lingkungan, etika bisnis, profit

III. Model Pelaksanaan CSR
Sedikinya terdapat empat pola/model pelaksanaan Corporate Social Responsibility yang umumnya diterapkan di Indonesia (Saidi dan Abidin, 2004) :

Melalui Keterlibatan Langsung

Program CSR dilakukan secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri berbagai kegiatan sosial ataupun menyerahkan bantuan-bantuan secara langsung kepada masyarakat.

Melalui Yayasan ataupun Organisasi Sosial

Terdapat sebuah yayasan ataupun organisasi sosial yang didirikan sendiri untuk mengelola berbagai kegiatan sosial yang dalam hal ini merupakan aplikasi dari kegiatan CSR.

Bermitra dengan Pihak lain

CSR dilakukan dengan membangun kerjasama dengan pihak lain baik itu lembaga sosial/organisasi non-pemerintah, instansi pemerintah, instansi pendidikan, dll. Kerjasama ini dibangun dalam mengelola seluruh kegiatan maupun dalam pengelolaan dana.

Bergabung Dalam Konsorsium

Bergabung, menjadi anggota ataupun mendukung sebuah lembaga sosial yang berbasis pada tujuan sosial.

Dari keseluruhan model tersebut, di Indonesia pada umumnya terdapat model pelaksanaan CSR dengan bermitra dengan pihak lain ataupun organisasi lain. Adapun kecenderungan kegiatan yang dilakukan adalah berupa pelayanan sosial pendidikan dan pelatihan, lingkungan, ekonomi dan sebagainya.

Selain hal tersebut diatas, terdapat tiga prinsip dasar yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanaan CSR (Tripple Bottom Lines CSR), prinsip ini harus menjadi pemahaman secara menyeluruh dalam pengaplikasian program CSR.
Profit
(Keuntungan Ekonomi)

People
(Kesejahteraan Masyarakat)

Planet
(Keberlanjutan Lingkungan Hidup)

Tripple Bottom Lines CSR
People berarti harus tetap memiliki kepedulian sosial terhadap kesejahteraan manusia.

Plannet berarti peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati.

Ketiga hal in merupakan prinsip dasar yang harus menjadi landasan dalam setiap konsep pelaksanaan CSR sehingga pemahaman yang keliru terhadap konteks pelaksanaan CSR dapat dihindari.

IV. CSR dalam Fakta dan Data
Terdapat berbagai contoh keuntungan pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh berbagai perusahaan maupun instansi. Di Inggris, sebuah survei membuktikan, bahwa 86% konsumen merasa melihat suatu citra positif sebuah perusahaan jika mereka melihat perusahaan tersebut benar-benar “melakukan sesuatu untuk menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik” (Acces Ommibus Survei 1997). Selain itu, Di Amerika, tahun 1999, survei lembaga Environic menyatakan sepertiga konsumen di Amerika Serikat yang menyukai produk-produk dari perusahaan yang memiliki visi bisnis pembangunan masyarakat yang lebih baik. Sedangkan di Indonesia, data riset majalah SWA atas 45 perusahaan menunjukkan CSR bermanfaat memelihara dan meningkatkan citra perusahaan (37,38 persen), hubungan baik dengan masyarakat (16,82 persen), dan mendukung operasional perusahaan (10,28 persen) (Sinar Harapan 16/03/2006). Hal ini membuktikan bahwa sudah saatnya bagi setiap perusahaan maupun instansi untuk memperhatikan CSR karena banyak manfaat positif yang dapat diperoleh dalam pengaplikasiannya. Diharapkan bagi seluruh stakeholders dapat bersama-sama bekerjasama mengembangkan CSR, sehingga sustainability (human, economic, social maupun environment) dapat terwujud.

V. Referensi

Budimanta, Arif dkk. 2004, Corporate Social Responsibility : Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini, Jakarta : ICSD

Suharto, Edi. 2006. “Pekerjaan Sosial Industri, CSR dan Comdev “. Makalah workshop tentang Corporate Social Responsibility

Salim, Emil dkk. Sustainable Future : Menggagas Warisan Peradaban Bagi Anak Cucu Seputar Wacana Pemikiran, Jakarta : ICSD

Suparlan, Parsudi. 2003 ”Pembangunan Komuniti dan Tanggung Jawab Sosial Korporasi”. Makalah pada Intensive Course Community Development for Company: Konsep, Kasus dan Implementasi. Diselenggarakan di Jakarta: PUSWIKA UI (17-20 Maret 2003).

Weeden, Curt. 1998 Corporate Social Investing: The Breakthrough Strategy for Giving and Getting Corporate Contributions. San Fransisco: Berten-Koehler Publisher, Inc.
Sumber: http://www.megawati-institute.org/pemikiran/corporate-social-responsibility-realita-dan-perkembangan.html

CSR PERBANKAN: PERLUKAH CSR DI BPD ?

CSR PERBANKAN: PERLUKAH CSR DI BPD ?
Menurut saya perlu karena salah satu cara mengetaskan kemiskinan melalui program CSR ini jangan terlalu mengharapkan sama pemerintah punya keterbatasan daya dan dana, ok...

Senin, 05 April 2010

PERLUKAH CSR DI BPD ?

CSR DAN PERUSAHAAN :
Tuntutan globalisasi mewajibkan perusahaan harus kompetitif dan sustainable, dimana persaingan antar perusahaan semakin ketat. Untuk menciptakan perusahaan yang kompetitif, maka perusahaan perlu didukung oleh aspek-aspek internal perusahaan (misalnya kinerja keuangan, SDM, dan teknologi) yang handal dan aspek eksternal perusahaan (misalnya pasar, customer base, relasi, lingkungan dan regulasi pemerintah). Salah satu hal yang berpengaruh terhadap kelangsungan sebuah perusahaan namun belum mendapat perhatian serius dari pihak perusahaan (pengurus dan pemegang saham) adalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan / Corporate Social Responsibiliy (selanjutnya disebut CSR).
Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSR) in fox, et al (2002), definisi CSR atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah :
“komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan”.
Jadi dengan demikian CSR pada dasarnya memiliki keinginan yang sama yakni menjalankan bisnis dengan lebih bermartabat, dengan konsekuensi akan mengurangi profit. Pengusaha seharusnya menjalankan bisnis tidak semata untuk profitability melainkan lebih dari itu, sustainability. Kesadaran menjalankan bisnis bukan sekedar mencari profit semata, yang masih minim dimiliki oleh sebagian pelaku bisnis di Indonesia, namun faktor kesinambungan tersebutlah yang sangat menentukan masa depan sebuah usaha.
Sebagai contoh dari persoalan diatas, jika Anda seorang pengelola usaha, maka Anda punya pilihan untuk mendapatkan keuntungan antara 35 % sampai dengan minimal 10%. Agar mendapatkan keuntungan 35 %, Anda harus rajin melobi para pejabat, menjilat para atasan, mengelabui mitra usaha, dan mengesampingkan social responsibilty, tetapi risikonya bisnis Anda paling tidak hanya mampu bertahan selama 5 tahun, karena banyaknya masalah yang timbul dari praktik usaha semacam itu.
Namun, jika Anda memilih keuntungan yang lebih sedikit, 10% tetapi dengan memperhatikan etika bisnis serta mempunyai social responsibility yang besar, bisnis Anda jelas akan dapat berjalan dengan baik.
Pernyataan diatas diperkuat dengan hasil penelitian terbaru dari Hill, Ronald et.al (2007:)[1] yang melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melaksanakan praktek CSR lalu menghubungkan dengan value perusahaan, diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Penelitian tersebut menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan yang mempraktekan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang siginifikan, namun dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan praktek CSR.
Dari penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan.Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen terhadap CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahaan –perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR, atau dengan kata lain CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang.
Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin, karena masyarakat kita bukanlah masyarakat yg masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakat sekarang lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.
Selanjutnya kondisi sekarang di Indonesia Pada dekade terakhir kerapkali terjadi kecelakaan, musibah dan penipuan yang disebabkan oleh kalangan perusahaan, sehingga menimbulkan stigma negatif perusahaan di kalangan masyarakat (stakeholders) seperti pada kasus pencemaran di Teluk Buyat oleh perusahaan Newmont Minahasa, masalah pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport Papua, masalah semburan lumpur panas Lapindo di Surabaya dan terakhir yang heboh adalah kasus Bank Century yang hingga kini masih triliunan rupiah dana nasabah tidak dapat dipertanggungjawabkan, ini merupakan contoh terburuk dari praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab.
Memang hal ini lebih dikarenakan faktor teknis dan human error- yang telah menjadi “pemicu” untuk kembali menyerukan tanggung jawab kalangan perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga menjadi alasan perlunya kesadaran terhadap Corporate Social Responsibility demi tercapainya sebuah keseimbangan dunia usaha antara pelaku dan masyarakat sekitar (Local community).
Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani berinspirasi dan mengekspresikan tuntutan terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan filterisasi terhadap dunia usaha yang berkembang di tengah masyarakat. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh capital gain (profit) dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi baik materiil maupun imateriil kepada masyarakat dan pemerintah.

CSR yang seharusnya telah terintegrasi dalam hierarki perusahaan sebagai strategi dan policy manejemennya, tetap masih dipandang sebelah mata oleh kebanyakan pelaku bisnis di Indonesia. Esensi dan signifikansi dari CSR masih belum dapat terbaca sepenuhnya oleh pelaku bisnis, sehingga CSR sendiri baru sekedar wacana dan implementasi atas tuntutan masyarakat. Hal ini otomatis akan mengurangi implementasi dari CSR itu sendiri.
Masalahnya semakin rumit ketika tetap saja para pelaku dan investor berpijak pada stereotipe bahwa CSR tidak profitable, tidak berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan perusahaan. Mereka cenderung ingin yang instan, langsung mendapat profit besar, tanpa peduli terhadap masalah-masalah eksternal perusahaan. Selain itu, investor juga terlalu menginginkan realisasi investasi mereka untuk sektor riil dalam artian benar-benar berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan. Padahal, CSR memiliki dimensi yang jauh lebih rumit dan kompleks dari sekedar analisis laba-rugi.
Pengenalan terhadap budaya setempat atau analisis terhadap need assesment semestinya menjadi hal krusial yang mesti dilakukan. Poin diatas inilah yang terkadang menyebabkan konflik kepentingan, sehingga dunia usaha terkadang merasa program CSR bukanlah kompetisi mereka. Paradigma mengenai kontribusi pajak perusahaan terhadap negara semakin menambah runyam. Ada beberapa kalangan yang menilai jika masalah sosial hanya merupakan tanggungjawab negara saja, dunia usaha cukup membayar pajak untuk memberikan kontribusi terhadap masyarakat.
Pemikiran ini sudah tidak relevan, justru perusahaan yang akan memenangkan kompetisi global adalah perusahaan yang memiliki kemampuan public relation yang baik, salah satunya dapat dicapai dengan mencanangkan program CSR yang terintegrasi sebagai standar kebijakan dan strategi bisnis mereka. Lagipula, dengan adanya anggapan bahwa dunia usaha merupakan bagian yang terintegrasi dalam masyarakat, sudah sepatutnya jika dunia usaha berkewajiban untuk membantu menyelesaikan masalah sosial yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, semestinya dunia usaha tidak mengganggap CSR sebagai kewajiban yang memaksa, sebagai refleksi dari tuntutan masyarakat terhadap dunia usaha. Jika perusahaan masih mempertahanakan paradigma lamanya maka cepat atau lambat, benih irihati, ketidak puasan, kemarahan masyarakat (stakeholders) akan berdampak adanya anarkisme, vandalisme, maupun bentuk-bentuk kegiatan represif dari masyarakat lainnya akan berbuntut panjang pada penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes kalangan masyarakat karena tidak memberikan kotribusi yang nyata.

CSR DAN PERBANKAN
Terlepas dari hal diatas, bisnis perbankanpun (baca lembaga perbankan) tidak luput dari tanggung jawab sosial yang harus diemban, karena lembaga ini merupakan lembaga kepercayaan, sehingga dalam menjalankan fungsi perbankan wajib memperhatikan kepentingan nasabah dan kepentingan masyarakat (stakeholders). Apabila diabaikan maka cepat atau lambat bisnis perbankan bisa terpuruk.
Jadi dengan kata lain lembaga perbankan tidak saja memiliki tanggung jawab ekonomi moneter menerapkan prinsip kehati-hatian Bank (Prudential Bank), sebagai lembaga intermediasi untuk menerima dan menyalurkan kembali dana masyarakat, di luar itu juga ada tanggung jawab etis, sosial dan tanggung jawab discretionary, yaitu tanggung jawab yang semestinya tidak harus dilakukan tapi dilakukan atas kemauan sendiri.
Sebagai contoh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia, sesuai Undang-Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut, terdapat tiga pilar utama yang menjadi tugas Bank Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasai bank. Selain dituntut untuk dapat melaksanakan tugas-tugas utamanya tersebut, Bank Indonesia juga diminta untuk tetap memiliki kepedulian terhadap lingkungan (komunitas) sebagai wujud corporate social responsibility.

CSR BPD
Disamping itu bank umum seperti BPD selain merupakan lembaga kepercayaan, juga merupakan lembaga pendukung pembangunan daerah, karena secara filosofi BPD didirikan dengan peran sebagai alat penggerak perekonomian daerah dalam menopang pembangunan infrastruktur, UMKM dan turut memikirkan kondisi sosial masyarakat lokal yang semakin marginal (baca semakin miskin) serta menjalankan fungsi intermediasi daerah (development bank).
Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin (dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada tahun 2008 yakni 34,96 juta jiwa (15,4%), sedangkan jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 9,43 jiwa (8,46%).
Memperhatikan kesenjangan yang semakin besar tersebut, muncul berbagai reaksi untuk memperbaikinya, antara lain program stimulus fiskal seperti perbaikan kesejahteraan, bantuan langsung tunai (BLT), beras rakyat miskin (RASKIN) dan sebagainya yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya mengentaskan kemiskinan sering tidak membawa hasil, karena pemerintah tidak memiliki daya dan dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut.
Dengan memperhatikan kondisi tersebut sudah saatnya BPD seluruh Indonesia wajib menjadikan CSR sebagai “roh” untuk memberi nilai tambah kepada masyarakat setempat (stakeholders). Jika BPD masih mempertahankan paradigma lamanya maka siap-siaplah menerima risiko reputasi dan risiko hukum dikemudian hari.
Berangkat dari pemahaman diatas, dapat ditarik benang merah bahwa BPD wajib melaksanakan CSR dalam usahanya agar tercapai keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat lokal, semoga...

Hill, Ronald, Thomas Ainscough, Todd Shank and Dary Manullang, Corporate Social Responsibility and socially Responsible Investing : A Global Prespektive, Journal of Business Ethick; Januari 2007, Volume 70 Issue 2, p१65-१74.

Selasa, 23 Maret 2010

KEMISKINAN + KENAIKAN BBM - CSR = bank DAERAH

  • Kemiskinan dan Kenaikan BBM :
Masalah kemiskinan adalah problem sosial klasik, sudah dibicarakan sejak jaman dahulu kala dan masih terus dibicarakan, karena hingga detik ini belum juga dapat diselesaikan. Terkadang kemiskinan itu dianggap memalukan seseorang sehingga merasa harus menjauh dan tidak mengakuinya. Namun tidak sedikit pula orang memanfaatkan kemiskinan sebagai media untuk memperoleh dana bantuan atau mengemasnya dalam proyek-proyek sosial dan bahkan masalah kemiskinan itu dibicarakan dalam forum-forum resmi yang menghadirkan pakar/ahli kemiskinan, dibuat di hotel berbintang dan disiarkan secara langsung melalui media televisi ke seluruh penjuru tanah air, mengeluarkan biaya ratusan juta bahkan milyaran rupiah, namun mengapa kemiskinan itu tidak hapus juga ?. jawabannya “…..tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…...” (sebait sair lagu Ebit G. Ade).
  • Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang atau sebesar 16,58 % dan sudah pasti tingkat kemiskinan akan bertambah lagi dengan adanya kenaikan BBM sebesar 30 % nanti. Pemerintah harus bersiap-siap menerima pertambahan penduduk miskin baru sedikitnya 15,68 juta, artinya, dengan pertambahan penduduk miskin itu, penduduk miskin Indonesia pasca kenaikan harga BBM akan menjadi 52,85 juta orang. Jumlah yang bombastis dan tentu saja akan menambah berbagai problem sosial di negeri ini.
Penyebab dari kemiskinan itu dipengaruhi oleh dua kondisi yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi karena sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan terjadi musibah atau bencana alam. Sedangkan “kemiskinan buatan” terjadi karena dikondisikan sedemikian rupa oleh lembaga pemerintah atau non pemerintah setempat yang ada di masyarakat, sehingga masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia. Itulah yang disebut kemiskinan struktural akibat dari pengaruh kondisi struktur sosial setempat.
  • Sebagai contoh Dinas Kesehatan Propinsi NTT mencatatat bahwa berdasarkan data dari 20 kabupaten/kota di NTT periode Januari 2007 hingga akhir Februari 2008, terdapat 497.777 bayi di bawah lima tahun (balita) mengalami gizi buruk. Dari jumlah tersebut, 416.197 (83,64 %) adalah penderita gizi buruk (malnutrision), 81.380 (16,36%) kurang gizi (under nutrition), 68.873 anak gizi buruk dan komplikasi (malnutrition/out complication) sebanyak 12.340. Sedangkan balita penderita busung lapar sebanyak 167 anak. Terakhir yang mencuat di awal tahun 2008 ini adalah busung lapar di Rote-Ndao. Hingga saat ini sudah tercatat sebanyak lima orang balita meninggal dunia akibat busung lapar. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rote Ndao menetapkan kasus busung lapar tersebut sebagai kejadian luar biasa (KLB). Pemkab Rote Ndao pun membutuhkan dana miliaran rupiah untuk mengatasinya.
Sipri Seko (http://sipriseko.multiply.com/journal/item/59) dalam tulisannya menjelaskan bahwa dana miliaran rupiah yang dialokasikan pemerintah untuk mengatasi persoalan busung lapar ternyata terbuang percuma. Tak ada yang menyangkal kalau kemudian ada selentingan yang mengatakan bahwa kondisi ini sengaja diciptakan untuk menjadi lahan meraup rupiah yang beterbangan sangat rendah. Praktek-praktek inilah yang memperkuat pendapat bahwa kemiskinan di Indonesia merupakan kemiskinan strukural. Penanganan Kemiskinan
  • Dalam Teori ekonomi dijelaskan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat melalui peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan sudah banyak dilaksanakan seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan dan bantuan langsung tunai (BLT) namun hingga kini persoalan kemiskinan belum juga tuntas. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya pengentasan kemiskinan sering tidak membawa hasil, karena pemerintah tidak secara tuntas dan serius mengelolah kepemerintahan yang baik (good governance) dan apalagi menjadi sustainable governance masih jauh dari angan-angan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa saat ini tidak perlu banyak berharap dengan upaya-upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu memperhatikan kondisi tersebut sudah saatnya Bank-bank Daerah sebagai pengerak ekonomi rakyat memperhatikan kepentingan masyarakat lokal (stakeholders). Jika Bank-bank Daerah masih mempertahankan paradigma lamanya maka cepat atau lambat, benih irihati, ketidakpuasan, kemarahan masyarakat (stakeholders) yang termarginal akan berbuntut panjang pada penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes kalangan masyarakat karena tidak memberikan kontribusi yang nyata.
  • Berangkat dari pemahaman diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Bank Daerah perlu care / peduli terhadap masyarakat lokal (stakeholders) dengan maksud agar tercapai keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
  • FILOSOFI BANK DAERAH DAN CSR
Pada hakekatnya Bank Daerah Seluruh Indonesia (BPD-SI) didirikan dengan peran yakni sebagai alat penggerak utama perekonomian daerah dalam menopang pembangunan infrastruktur, UMKM dan turut memikirkan kondisi sosial masyarakat lokal yang semakin termarginal (baca semakin miskin) serta menjalankan fungsi intermediasi daerah (development bank). Pendapat awam melihat bahwa ada dua peran yang bertolak belakang yakni disatu sisi Bank Daerah sebagai alat bisnis untuk kepentingan shareloders (pemegang saham) dan dilain sisi sebagai alat sosial.
  • Menurut Sunarsip (Kepala Ekonom IEI), kondisi sekarang Bank Daerah telah mencebur terlalu jauh sebagai Bank yang tidak mungkin dapat bersaing dengan Bank Umum lainnya karena kelasnya berbeda, ibaratnya sama saja mempertemukan antara Elias Pical dengan Mike Tyson.
Melihat kondisi seperti ini dalam rangka “back to habit”, sudah saatnya Bank Daerah melepaskan jubah paradigma lamanya yang hanya terfokus pada profit oriented namun berparadigma baru yakni triple botom line (triple P), selain mencari keuntungan (Profit) tetapi juga Bank Daerah harus memperhatikan kondisi marginal masyarakat lokal /stakeholders (People) dan kondisi lingkungan sekitarnya (Planet) agar tetap sustainable walaupun didera dengan kondisi ekonomi nasional yang tidak stabil. Inilah yang sekarang kita kenal dengan “corporate social responsibility /CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan”.
  • Hasil penelitian terbaru dari Hill, Ronald et.al (2007:)[1] di beberapa perusahaan Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melaksanakan praktek CSR lalu menghubungkan dengan value perusahaan diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut, menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan yang mempraktekan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang siginifikan, namun dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan praktek CSR.
Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen terhadap CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahaan –perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR, atau dengan kata lain CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang. Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin, karena masyarakat kita bukanlah masyarakat yang masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakat sekarang lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.
  • Tulisan ini akan dilanjutkan pada kesempatan berikutnya ...............................