Senin, 12 April 2010

CSR MEMANG TDK CUKUP DENGAN BAGI BAGI SEMBAKO

Jumat 22 Januari 2010 lalu, Wapres Boediono dalam
kesempatan membuka acara pemberian
penghargaan kepada wirausahawan muda yang
difasilitasi oleh Bank Mandiri menyatakan bahwa apa
yang dilakukan oleh Bank Mandiri adalah “CSR yang
substansial,” dan Beliau mengingatkan bahwa
banyak perusahaan yang masih melakukan “CSR”
dengan jalan membagi‐bagi sembako. Bagi‐bagi
sembako, menurut Wapres, adalah hal yang baik,
namun dipandang tidak memadai sebagai CSR.
Wapres benar. CSR memang jauh lebih kompleks
daripada bagi‐bagi sembako. CSR, sebagaimana
disepakati oleh banyak pakar, dalam definisi arus
utama berarti internalisasi atau manajemen dampak.
Itu artinya, perusahaan musti tahu persis apa saja
dampak operasionalnya, baik yang positif maupun
negatif, lalu mengelolanya. Yang positif tentunya
dimaksimumkan, sementara yang negatif
diminimumkan. Dan, bagi‐bagi sembako jelas
tidaklah cukup sebagai maksimisasi dampak positif
maupun minimisasi dampak negatif, bukan?
Tetapi, apakah juga memfasilitasi usahawan muda
adalah bentuk CSR yang memadai bagi Bank
Mandiri? Berbagai pakar telah menuliskan bahwa
CSR yang sesuai dengan industri perbankan pada
dasarnya ada tiga: penapisan investasi dengan
memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan,
promosi financial literacy dan perlakuan khusus
untuk UMKM. Nah, dengan program wirausahawan
muda tersebut, tampaknya dua yang terakhir telah
masuk. Bagaimanapun, Bank Mandiri harus
memberikan pengetahuan mengenai berbagai aspek
finansial kepada para wirausahawan tersebut.
Sebagai pemula, wirausahawan itu juga tentunya
adalah bagian dari UMKM—karena mereka mustahil
langsung menjadi pengusaha besar.
Pertanyaan yang tersisa adalah apakah Bank Mandiri
telah melakukan penapisan investasinya dengan
mengadopsi atau mengadaptasi kerangka Equator
Principles dan IFC Performance Standards? Hingga
sekarang tampaknya belum. Adopsi jelas belum,
karena Bank Mandiri hingga sekarang belum lagi
tercatat sebagai penanda tangan Equator Principles.
Adaptasi? Tak bisa diketahui dengan pasti hingga di
mana, karena Bank Mandiri tak pernah
mengungkapkan hal tersebut di muka publik.
Bank Mandiri memang pernah beberapa kali
menyatakan bahwa dalam menapis investasi mereka
melihat apakah sebuah projek memiliki AMDAL.
Namun, apakah ini memadai? Jelas tidak. Boleh jadi
sebagian besar projek yang didanai oleh Bank
Mandiri adalah projek yang wajib AMDAL. Namun
demikian, mempersyaratkan adanya dokumen
AMDAL tentu saja tidak memadai. Banyak orang tahu
bahwa dokumen AMDAL di Indonesia sebagian
sangat besarnya bermutu jelek. Padahal apabila
AMDAL kita dibuat dengan sangat baikpun, itu tak
memadai kalau dibandingkan dengan mutu dokumen
Environmental and Social Impact Assessment yang
diminta oleh IFC. Pemerintah agaknya menyadari itu
sepenuhnya, sehingga UU 32/2009 mengenai
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hiduppun
kemudian memperbaiki persyaratan AMDAL
dengan tambahan analisis risiko lingkungan, juga
persyaratan yang ketat bagi pembuat dan
penilaianya.
Apakah mengikuti Equator Principles dan IFC
Performance Standards itu sudah memadai? Norma
di dunia bisnis tampaknya begitu. Namun, perlu
diingat bahwa dunia bisnis tidaklah vakum,
melainkan diisi oleh norma‐norma pemangku
kepentingan. Equator Principles banyak dikritik LSM
karena membatasi jumlah investasi yang ditapis,
yaitu bagi investasi di atas USD 10 juta. Padahal,
investasi di bawah itupun banyak yang membawa
dampak sosial dan lingkungan yang luar biasa. IFC
Performance Standards yang menyatakan bahwa
PIFC adalah prior and informed consultation
dipandang tak memadai oleh LSM karena seharusnya
PIFC bermakna prior and informed consent.
Jadi, memang bagi‐bagi sembako itu tak memadai
sebagai CSR. Tapi, melakukan banyak hal di luar
bagi‐bagi sembako itu juga belum tentu sudah
memadai. Bahkan ketika norma di dunia bisnis sudah
menganggapnya memadai, pemangku kepentingan
belum tentu sependapat.
Sumber :
CSR Indonesia Newsletter Vol. 4 Bulan 1 2010 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa komentar anda tulisan ini :